Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Kamis, 19 Januari 2023

BAHASA KAMORO

 

PERLUKAH BAHASA KAMORO DI REVITALISASI

Ronny Sanderson Sokoy*

 

 

Pada dasarnya, revitalisasi merupakan suatu upaya pelindungan bahasa daerah di Indonesia supaya bahasa daerah tersebut dapat terlindungi. Upaya pelindungan bahasa tertuang pula dalam (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia; dan (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 42 Tahun 2018 tentang Kebijakan Nasional Kebahasaan dan Kesastraan. Beberapa peraturan tersebut menjelaskan secara detail bahwa upaya pelindungan bahasa memiliki peran penting dalam menjaga aset kekayaan bangsa tak benda, mempertahankan identitas dan jati diri, serta memperkuat kebinekaan di Indonesia. Semua bahasa di Indonesia diharapkan dapat terlindungi dengan telah melewati rangkaian upaya pelindungan bahasa, mulai dari pemetaan bahasa hingga konservasi dan/atau revitalisasi sesuai dengan situasi, kondisi, dan karakteristik bahasa tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, upaya revitalisasi menjadi ujung tombak keberlanjutan upaya pelindungan bahasa di daerah. Salah satu keluaran revitalisasi yang diharapkan dapat terus berkelanjutan adalah jumlah penutur muda yang bertambah. Meskipun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah melakukan berbagai upaya pelindungan dengan rangkaian kegiatan yang terbilang banyak dan panjang, tetapi keberlanjutan bahasa daerah tetap berada di tangan penutur bahasa daerah dan pemerintah daerah itu sendiri. Hal inilah yang menjadikan kegiatan revitalisasi bahasa perlu didukung adanya petunjuk teknis revitalisasi bahasa supaya memudahkan pelaksana pelindungan bahasa, terutama perevitalisasi melakukan kegiatan revitalisasi bahasa di Indonesia. Dengan begitu, kegiatan revitalisasi bahasa dapat berjalan optimal dengan koordinasi yang jelas dan terarah sesuai dengan peta jalan upaya pelindungan bahasa.

   Bahasa Kamoro adalah salah satu bahasa daerah di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Menurut sumber kepustakaan yang ada, bahasa Kamoro termasuk bahasa-bahasa Papua (Papuan Languages), yakni Filum Pegunungan Tengah (Trans New Guinea Phylum), yang dikelompokkan dalam Stok Tengah Tenggara (Central and South New Guinea Stock), di bawah keluarga bahasa Asmat-Kamoro (Wurm-Hattori, 1981).

            Berdasarkan laporan-laporan kebahasaan terdahulu, bahasa Kamoro disebut dengan berbagai nama yang berbeda-beda, misalnya bahasa Mimika, bahasa Lakahia, Nagramadu, Mukamuga, Kaokonau, Umari 2, Neferipi, Maswena. Sebutan-sebutan tersebut berdasarkan daerah pakai, kelompok subetnis, dan penyebutan dialek, baik oleh penuturnya maupun oleh peneliti dan orang dari luar.

Bahasa Kamoro dewasa ini penuturnya semakin berkurang,  yaitu  hanya kalangan tua yang secara alami populasinya akan terus menurun yang dapat berbahasa daerah, sedangkan kaum muda walaupun populasinya meningkat, tetapi tidak pernah bertambah jumlahnya sebagai penutur bahasa ibunya. Bahasa Kamoro dianggap kurang dapat memenuhi kebutuhan berkomunikasi di zaman globalisasi ini terutama pada komunitas yang semakin heterogen di Kabupaten Mimika. Melihat realitas yang ada, semakin banyak penutur bahasa daerah yang enggan menggunakan bahasa daerahnya, baik di rumah maupun dalam pergaulan seharihari. Akibat dari keengganan ini, ranah penggunaan bahasa daerah semakin menyempit.

Bahasa Kamoro kurang atau tidak lagi digunakan pada ranah keluarga, ranah agama, ranah lingkungan, dan ranah pertemanan sebagai bahasa pilihan dalam komunikasi seharihari karena berbagai alasan, seperti pengaruh globalisasi, ketidaksinambungan komunikasi jika berbahasa daerah, dan perkawinan campur. Generasi muda tidak tertarik menggunakan bahasa daerahnya karena pemakaiannya yang  terbatas   jika   dibandingkan  dengan  bahasa Indonesia. Kaum  muda  kurang  memiliki  upaya  untuk  mengerti  dan  memahami bahasa ibunya.

Faktafakta/gejala di atas terjadi karena desakan dan kalah bersaing dengan bahasa Indonesia Melayu Papua dan bahasa asing, termasuk bahasa kaum  migran,  ditambah  lagi  dengan  merosotnya  loyalitas  penutur  bahasa Kamoro terhadap bahasa ibunya, yang juga ditandai kemerosotan loyalitas terhadap budaya lokalnya. Berdasarkan fakta-fakta yang dipaparkan di atas, maka sudah seharusnya bahasa Kamoro perlu segera direvitalisasi agar bahasa Kamoro tidak punah suatu saat dan hanya tinggal kenangan saja.

Nimaome

Akuare Ndaata (mari belajar bahasa)

Tapare Mimika iwaoto

 (kami sayang Tanah Mimika)


Sumber foto : https://koropak.co.id/18414/hidup-nomaden-suku-kamoro-papua-lekat-dengan-3s

 

*) Jakarta, 1 November 2022. Mari kita dukung program Revitalisasi Bahasa Daerah di Papua!

*) Duta Bahasa Provinsi Papua 2019

Senin, 09 Januari 2023

PERSEBARAN BAHASA KAMORO

 

MENGENAL BAHASA KAMORO DAN PERSEBARANNYA

            Ronny Sanderson Sokoy*

 

Bahasa daerah di Indonesia terancam kepunahan akibat desakan berbagai faktor dari luar dan dari dalam bahasa daerah itu. peran dan fungsinya yang besar untuk  pembangunan di Indonesia, bahasa daerah perlu diperkuat melalui upaya revitalisasi agar terhindar dari kepunahan. Dengan berbagai upaya revitalisasi, penambahan daya bahasa daerah dapat dilakukan sehingga bahasa itu mampu bertahan. Kelestarian bahasa daerah perlu         dipertahankan karena dalam konteks sosial Indonesia bahasa daerah merupakan sumber pemerkaya dan pemberdaya bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa nasional dan sumber hikmah budaya berkesinambungan, yang dapat mempertahankan keseimbangan sosial. Upaya revitalisasi yang dilakukan terhadap bahasa daerah tidak dapat disamakan dengan upaya yang lazim dilakukan di berbagai negara, tetapi disesuaikan dengan kebijakan pemerintah untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Revitalisasi bahasa  daerah dikelompokkan ke dalam tiga upaya, yakni pelindungan, pengembangan, dan pembinaan bahasa daerah.

Revitalisasi merupakan proses penambahan daya (vitality) bahasa yang terancam kemusnahan dengan tujuan agar bahasa itu memenuhi fungsinya untuk komunitas penutur (Grenoble dan Whaley 2006: 7-21). Penambahan daya bahasa mencakupi upaya pelindungan dan pengembangan bahasa serta pembinaan penutur bahasa. Lazimnya, upaya penguatan sumber daya bahasa terkait dengan ancaman kepunahan bahasa karena penutur bahasa (mulai)                 meninggalkan bahasa itu. Kenyataan menunjukkan bahwa bahasa daerah di Indonesia dicuaikan dan ditinggalkan penuturnya karena bahasa lain yang lebih luas daya jangkau komunikasinya (language of wider communicaion) dapat menggantikan bahasa itu dalam berbagai ranah (domain) penggunaan bahasa untuk mencapai peluang sosial dan ekonomi yang                       lebih luas. Penyesuaian dan perpindahan ke bahasa dengan komunikasi lebih luas itu terjadi karena berbagai faktor luar dan dalam bahasa. Untuk menyelamatkan bahasa daerah yang terancam punah diperlukan upaya revitalisasi. Upaya revitalisasi ini bervariasi dan berlangsung sejalan dan sesuai dengan kebijakan di dalam masyarakat atau suatu negara. Di Indonesia kebijakan bahasa mencakupi kebijakan atas bahasa daerah, bahasa Indonesia sebagai           bahasa nasional, dan bahasa asing.

Bahasa daerah perlu diberdayakaan karena bahasa daerah  yang menjadi bahasa ibu sebagian besar penduduk Indonesia dan sumber pemerkaya dan pemberdaya bahasa Indonesia, terancam punah. Bahasa Kamoro adalah salah satu bahasa daerah di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Menurut sumber kepustakaan yang ada, bahasa Kamoro termasuk bahasa-bahasa Papua (Papuan Languages), yakni Filum Pegunungan Tengah (Trans New Guinea Phylum), yang dikelompokkan dalam Stok Tengah Tenggara (Central and South New Guinea Stock), di bawah keluarga bahasa Asmat-Kamoro (Wurm-Hattori, 1981).    Berdasarkan laporan-laporan kebahasaan terdahulu, bahasa Kamoro disebut dengan berbagai nama yang berbeda-beda, misalnya bahasa Mimika, bahasa Lakahia, Nagramadu, Mukamuga, Kaokonau, Umari 2, Neferipi, Maswena. Sebutan-sebutan tersebut berdasarkan daerah pakai, kelompok subetnis, dan penyebutan dialek, baik oleh penuturnya maupun oleh peneliti dan orang dari luar.      Daerah pakai bahasa Kamoro cukup luas di wilayah pantai selatan, yakni mulai Sungai Opa (134o 45’ Bujur Timur) ke Sungai Karumuga (137o 5’ Bujur Timur). Ke arah selatan, bahasa Kamoro terdapat di Teluk Etna sampai Sungai Mukamuga (Silzer, 1991). Wilayah ini termasuk Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Dari 12 distrik di Kabupaten Mimika, delapan distrik berbahasa Kamoro dengan berbagai dialek. Artinya, mungkin saja dalam kampung-kampung tertentu pada setiap distrik itu penuturnya menggunakan bahasa lain, tetapi secara umum pemakai bahasa Kamoro lebih dominan dalam delapan distrik tersebut. Dari delapan distrik tersebut, satu distrik yang sudah dominan bahasa Melayu Papua adalah Distrik Mimika Baru karena sudah termasuk wilayah perkotaan. Deskripsi ini diambil dari lima kampung dengan dua ragam. Ragam pertama,  yaitu Kampung Ayuka dari Distrik Mimika Timur Jauh dan Tipuka dari Distrik Mimika Timur. Ragam kedua adalah Kampung Koperapoka, Nawaripi, dan Nayaro dari Distrik Mimika Baru. Lima kampung ini memiliki satu badan yang disebut Yayasan Yu Amako, yang mengusahakan deskripsi struktur bahasa Kamoro yang dipakai di lima kampung itu. 

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa bahasa Kamoro terdapat pada delapan distrik di Kabupaten Mimika. Dengan wilayah pakai yang cukup luas, sudah tentu bahasa Kamoro cukup banyak variasi dialektalnya. Namun, sampai saat ini belum pernah dibuat pemetaan variasi ragam-ragam bahasa Kamoro itu sehingga belum diketahui secara pasti jumlah dialek dan subdialek.   Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan terdahulu, beberapa penulis menyebutkan jumlah dialek bahasa Kamoro. Orang pertama adalah Drabe (1953), yang menyatakan bahwa bahasa Kamoro memiliki enam dialek, yaitu dialek Westelijk, Tarja, Midden, Kamoro, Wania, dan Mukumuga. Jumlah penutur waktu itu disebutnya, tetapi wilayah pakai tidak dirinci dengan jelas. Pendapat lain dikemukakan oleh Purba (2000) bahwa bahasa Kamoro memiliki enam dialek tetapi berbeda penyebutan namanya dengan penulis terdahulu. Dialek-dialek yang disebutkan Purba adalah dialek Pantai, Koprapoka, Wania, Potoy-Buru, Hiripau, dan Iwaka. Nama yang sama dalam kedua laporan di atas adalah Wania. Tidak dijelaskan pula wilayah pakai setiap dialek dengan baik.  Perlu diketahui bahwa dalam ilmu dialek yang disebut dialektologi, variasi ragam bahasa biasanya diperhitungkan berdasarkan jarak fonologis dan leksikon dengan rumus dialektometri (Seguy, 1973). Berdasarkan perhitungan dialektometri itu, variasi bahasa dapat dipilah dalam lima tingkatan, yaitu beda bahasa, beda dialek, beda subdialek, beda wicara, dan tidak beda. Persentase perhitungan dialektometri di Indonesia telah dipakai oleh Ayatrohaedi (1979, 1985) dan telah disarankan perbaikannya oleh Lauder (1993). Saran berikut yang diusulkan Fautngil (2008) untuk bahasa-bahasa di Papua sebagai berikut. Tingkat beda bahasa 80% ke atas, beda dialek 60%-79%, beda subdialek 30%-59%, beda wicara 20%-29%, dan tidak beda antara 0-20%.


Sumber : https://news.detik.com/berita/d-5833409/nuansa-magis-di-balik-ukiran-eksotis-suku-kamoro-papua

 

*) Jakarta, 9 Januari 2023 . Mari kita dukung program Revitalisasi Bahasa Daerah di Papua!

 *) Duta Bahasa Provinsi Papua 2019

 

KEKERASAN SEKSUAL

 BERKOLABORASI MELAWAN KEKERASAN SEKSUAL Kekerasan seksual menjadi topik yang hangat di media, banyak sekali berita-berita yang bermunculan...