MENGENAL BAHASA KAMORO DAN PERSEBARANNYA
Ronny Sanderson Sokoy*
Bahasa daerah di Indonesia terancam
kepunahan akibat desakan berbagai faktor dari
luar dan dari dalam bahasa daerah itu. peran dan fungsinya yang besar untuk
pembangunan
di Indonesia, bahasa daerah perlu diperkuat melalui upaya revitalisasi agar terhindar dari kepunahan. Dengan berbagai upaya revitalisasi,
penambahan daya bahasa daerah dapat
dilakukan sehingga bahasa itu mampu bertahan. Kelestarian bahasa daerah perlu dipertahankan karena dalam konteks
sosial Indonesia bahasa daerah merupakan
sumber pemerkaya dan
pemberdaya bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa nasional dan sumber hikmah budaya berkesinambungan, yang dapat
mempertahankan keseimbangan sosial. Upaya revitalisasi
yang dilakukan terhadap bahasa daerah tidak dapat disamakan dengan upaya yang lazim dilakukan di berbagai negara,
tetapi disesuaikan dengan kebijakan pemerintah untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Revitalisasi bahasa
daerah dikelompokkan ke dalam tiga upaya, yakni pelindungan, pengembangan, dan pembinaan bahasa
daerah.
Revitalisasi merupakan proses penambahan
daya (vitality) bahasa yang terancam kemusnahan
dengan tujuan agar bahasa itu memenuhi fungsinya untuk komunitas penutur (Grenoble dan Whaley 2006: 7-21). Penambahan daya bahasa mencakupi upaya
pelindungan dan pengembangan bahasa
serta pembinaan penutur bahasa. Lazimnya,
upaya penguatan sumber daya bahasa terkait
dengan ancaman kepunahan
bahasa karena penutur
bahasa (mulai) meninggalkan bahasa itu. Kenyataan menunjukkan bahwa bahasa daerah di Indonesia
dicuaikan dan ditinggalkan penuturnya karena bahasa lain yang lebih luas daya jangkau komunikasinya (language of wider communicaion) dapat menggantikan bahasa itu dalam berbagai
ranah (domain) penggunaan bahasa untuk mencapai
peluang sosial dan ekonomi yang lebih
luas. Penyesuaian dan perpindahan ke
bahasa dengan komunikasi lebih luas itu terjadi karena berbagai faktor luar dan dalam bahasa. Untuk menyelamatkan bahasa daerah yang terancam
punah diperlukan upaya revitalisasi. Upaya revitalisasi ini bervariasi dan berlangsung sejalan dan sesuai dengan kebijakan
di dalam masyarakat atau suatu negara. Di Indonesia kebijakan bahasa
mencakupi kebijakan atas bahasa daerah,
bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional,
dan bahasa asing.
Bahasa daerah perlu diberdayakaan karena
bahasa daerah yang menjadi bahasa ibu sebagian besar
penduduk Indonesia dan sumber pemerkaya dan pemberdaya bahasa Indonesia,
terancam punah. Bahasa Kamoro adalah salah satu bahasa daerah di Kabupaten Mimika,
Provinsi Papua. Menurut sumber kepustakaan yang ada, bahasa Kamoro termasuk
bahasa-bahasa Papua (Papuan Languages), yakni Filum Pegunungan Tengah (Trans
New Guinea Phylum), yang dikelompokkan dalam Stok Tengah Tenggara (Central and South New Guinea Stock), di
bawah keluarga bahasa Asmat-Kamoro (Wurm-Hattori, 1981). Berdasarkan laporan-laporan kebahasaan terdahulu, bahasa Kamoro
disebut dengan berbagai nama yang berbeda-beda, misalnya bahasa Mimika, bahasa
Lakahia, Nagramadu, Mukamuga, Kaokonau, Umari 2, Neferipi, Maswena.
Sebutan-sebutan tersebut berdasarkan daerah pakai, kelompok subetnis, dan
penyebutan dialek, baik oleh penuturnya maupun oleh peneliti dan orang dari
luar. Daerah pakai bahasa Kamoro
cukup luas di wilayah pantai selatan, yakni mulai Sungai Opa (134o
45’ Bujur Timur) ke Sungai Karumuga (137o 5’ Bujur Timur). Ke arah selatan,
bahasa Kamoro terdapat di Teluk Etna sampai Sungai Mukamuga (Silzer, 1991). Wilayah ini
termasuk Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Dari 12 distrik di Kabupaten Mimika,
delapan distrik berbahasa Kamoro dengan berbagai dialek. Artinya, mungkin saja
dalam kampung-kampung tertentu pada setiap distrik itu penuturnya menggunakan
bahasa lain, tetapi secara umum pemakai bahasa Kamoro lebih dominan dalam
delapan distrik tersebut. Dari delapan distrik tersebut, satu distrik yang
sudah dominan bahasa Melayu Papua adalah Distrik Mimika Baru karena sudah
termasuk wilayah perkotaan. Deskripsi ini diambil dari lima kampung dengan dua
ragam. Ragam pertama, yaitu Kampung Ayuka dari Distrik Mimika Timur Jauh
dan Tipuka dari Distrik Mimika Timur. Ragam kedua adalah Kampung Koperapoka, Nawaripi, dan Nayaro dari
Distrik Mimika Baru. Lima kampung ini memiliki satu badan yang disebut Yayasan Yu Amako, yang mengusahakan
deskripsi struktur bahasa Kamoro yang dipakai di lima kampung itu.
Sebagaimana telah disinggung di atas
bahwa bahasa Kamoro terdapat pada delapan distrik di Kabupaten Mimika. Dengan
wilayah pakai yang cukup luas, sudah tentu bahasa Kamoro cukup banyak variasi
dialektalnya. Namun, sampai saat ini belum pernah dibuat pemetaan variasi
ragam-ragam bahasa Kamoro itu sehingga belum diketahui secara pasti jumlah
dialek dan subdialek. Berdasarkan
sumber-sumber kepustakaan terdahulu, beberapa penulis menyebutkan jumlah dialek
bahasa Kamoro. Orang pertama adalah Drabe (1953), yang menyatakan bahwa bahasa
Kamoro memiliki enam dialek, yaitu dialek Westelijk, Tarja, Midden, Kamoro, Wania, dan Mukumuga.
Jumlah penutur waktu itu disebutnya, tetapi wilayah pakai tidak dirinci dengan
jelas. Pendapat lain dikemukakan oleh Purba (2000) bahwa bahasa Kamoro memiliki
enam dialek tetapi berbeda penyebutan namanya dengan penulis terdahulu.
Dialek-dialek yang disebutkan Purba adalah dialek Pantai, Koprapoka, Wania,
Potoy-Buru, Hiripau, dan Iwaka. Nama yang sama dalam kedua laporan di atas
adalah Wania. Tidak dijelaskan pula wilayah pakai setiap dialek dengan
baik. Perlu diketahui bahwa dalam ilmu
dialek yang disebut dialektologi, variasi ragam bahasa biasanya diperhitungkan
berdasarkan jarak fonologis dan leksikon dengan rumus dialektometri (Seguy,
1973). Berdasarkan perhitungan dialektometri itu, variasi bahasa dapat dipilah
dalam lima tingkatan, yaitu beda bahasa, beda dialek, beda subdialek, beda
wicara, dan tidak beda. Persentase perhitungan dialektometri di Indonesia telah
dipakai oleh Ayatrohaedi (1979, 1985) dan telah disarankan perbaikannya oleh
Lauder (1993). Saran berikut yang diusulkan Fautngil (2008) untuk bahasa-bahasa
di Papua sebagai berikut. Tingkat beda bahasa 80% ke atas, beda dialek 60%-79%,
beda subdialek 30%-59%, beda wicara 20%-29%, dan tidak beda antara 0-20%.
*) Jakarta, 9 Januari 2023 . Mari kita dukung program Revitalisasi Bahasa Daerah di Papua!
*) Duta Bahasa Provinsi Papua 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar